Dunia setelah menikah, sejujurnya, tak lagi menyimpan rasa penasaran. Segalanya berjalan sangat mulus, tanpa guncangan berarti. Proses penyesuaian diri pun terasa ringan, mungkin karena bekal perkenalan kami yang sudah terjalin cukup lama. Jangka waktu itu seolah menjadi tameng yang membuat aku dan suami tidak terlalu terkejut dengan sikap atau kebiasaan masing-masing, dan dengan mudah belajar berkompromi.
Namun, ketenangan itu cepat atau lambat pasti akan terusik oleh sebuah pertanyaan: "Sudah isi belum?!". Awalnya, pertanyaan ini ku tanggapi santai, seringkali hanya kujawab dengan "hehehe." Kami memang sempat berencana menunda selama satu tahun untuk menikmati masa-masa berdua; berbulan madu, jalan-jalan ke luar kota seperti Bogor, Jakarta, dan impian kami ke Bandung atau Yogyakarta. Namun, seiring berjalannya waktu, setahun terasa terlalu lama untuk dilewati di bawah bayang-bayang pertanyaan yang berulang. Inilah yang dinamakan pressure.
Di bulan kedua pernikahan, ketenangan itu mulai berganti resah. Aku mulai kepikiran. Tekanan dari pertanyaan yang kian sering terdengar, ditambah perbandingan dengan pasangan lain yang menikah di bulan yang sama namun sudah "isi," melahirkan ketakutan baru: takut tidak bisa hamil. Ketakutan ditanya, ketakutan dibedakan, dan ketakutan tidak bisa menjadi ibu membuatku semakin tertekan.
Sebenarnya, jauh sebelum menikah, tepatnya tiga bulan sebelumnya, aku sudah diingatkan oleh kakak untuk mengonsumsi asam folat. Mungkin jauh di lubuk hati, aku memang ingin langsung punya anak. Namun, setelah menikah pun, ternyata kehamilan tidak bisa datang secara "langsung." Sejak bulan kedua, aku memulai program hamil mandiri, berharap ini adalah ikhtiar pertamaku.
Aku jadi sering menangis. Rasa ingin untuk hamil sangat menggebu-gebu, sampai-sampai aku hanya bisa menangis, meminta kepada Yang Maha Kuasa. Aku mulai mengerti, mengapa tekanan begitu berat dirasakan perempuan yang belum hamil. Rasanya bingung, segala cara sudah dicoba, segala saran sudah diikuti, sebab kehamilan terasa seperti sebuah keajaiban dari Allah yang harus diperjuangkan.
Aku pun memulai ikhtiar yang lebih dalam: beribadah, berdzikir, dan bersedekah. Aku mencoba mengatur pola makan dengan makanan yang konon bisa membantu cepat hamil. Aku mulai mencatat jadwal haidku dengan teliti. Yang terakhir, aku mencoba metode cek ovulasi menggunakan ovutest setiap bulan. Metode ini membantu kami mengetahui masa subur—menunggu munculnya dua garis tebal setelah masa haid, lalu kami akan berusaha. Metode ovutest ini bukan jaminan pasti, dan aku menjalaninya selama lima hingga enam bulan.
Hingga akhirnya, setelah melewati segala tekanan dan usaha, aku melihat garis dua di testpack.
Kisah kehamilanku pun dimulai sejak saat itu, sebuah penantian yang terjawab, sebuah keajaiban yang terwujud.
0 Komentar