Pada Rasa, Yang Kurangkai Tiada



Pada rasa, yang kurangkai tiada

Aku tak pernah menginginkan pertemuan yang ternyata mengantarkanku pada sebuah perpisahan yang jauh lebih menyakitkan dari sebelumnya, perpisahan yang terjadi karena kamu bilang kita tidak sejalan. Sudah lebih baik aku sendiri tanpa menemukan apa yang tak pernah sungguh-sungguh aku cari, sudah lebih baik aku sendiri tanpa sesuatu yang ku sadari hanya akan membuatku semakin merasa sendirian setelahnya.

Aku tak pernah menginginkan sebuah pertemuan yang ternyata membangunkanku dari mimpi indahku, mimpi yang sudah aku impikan untuk hidup tenang tanpa gangguan. Khayalan-khayalan bodoh yang menyenangkan nyatanya jauh lebih membuatku merasa hidup dari pada merasakan rasa yang tak nyata, yang tak perah benar-benar bisa aku rasa. Membangunkanku dengan cara halus tapi meninggalkanku dengan kasar, gemetar yang tertinggal tak akan mampu membuatnya tetap tinggal.

Aku pun tak pernah menginginkan sebuah pertemuan yang membawaku pada jurang keputus asaan, menuntunku kepinggir jurang hanya untuk melihatku jatuh sendirian. Ku kira genggaman itu akan mengenggam harapan bersama yang sudah terasa nyata, nyatanya dia hanya menganggap semuanya seolah tak ada; tak pernah benar-benar ada.

Pada rasa yang ku coba rangkai, yang harus berkali-kali kau hancurkan. Beralasan semuanya kacau tanpa pernah kau perhatikan, membangunnya hanya untuk kau jatuhkan. Pada rasa yang ku coba rasa, ada kegelapan didalamnya yang berusaha jadi cahaya dengan meredupkan cahaya lainnya; meredupkan cahaya diriku sendiri, yang sudah bertahan walaupun rasanya enggan. Merangkai rasa dengan segala hal yang tidak nyata tak akan pernah membuatnya jadi benar-benar nyata, malah membuatnya semakin sakit untuk dirasa.

Seharusnya tak aku biarkan kau masuk kedalam hidupku hanya untuk membuatnya semakin hancur, semakin merasa bahwa hidupku tidak pernah sempurna. Seharusnya aku tak perlu sambut kedatanganmu dengan semeriah itu, sedangkan kau datang hanya dengan maksut lain yang tak pernah aku mengerti. Seharusnya, seharusnya, dan seharusnya. Tapi, semua itu terlambat hanya karena aku terlalu mudah untuk diperalat. Terlalu mudah percaya pada kata-kata manis yang ternyata hanya sebuah jebakkan.

Sampai saat ini aku tidak mengerti, mengapa kau begitu mudah aku kagumi; kau begitu mudah untuk aku sukai; terlalu mudah untuk aku cintai. Tentang rasa yang tercipta ini biar jadi kesakitanku saja, aku tak perlu lagi mencari siapa yang salah dihubungan yang pernah kita jalani. Biar rasa yang pernah ada, hilang begitu saja.

Posting Komentar

0 Komentar