Aku tidak menyangka hari itu adalah hari ini, hari melahirkan anakku.
Waktu perkiraan lahir sudah semakin dekat, jantungku sudah mulai tidak karuan. Segala perasaan menjadi satu, menunggu-nunggu waktu yang entah kapan itu. Segala cara sudah dicoba untuk dilakukan; jalan pagi sendirian, pulangnya main gym ball, sorenya jalan sore dan mengepel jongkok. Rasanya tanda itu masih samar untuk dirasakan, tapi entah rasanya begitu dekat.
Jadwal kontrol Jumat malam, sudah hampir 40 minggu. Sakit-sakit kontraksi masih belum intens, tetapi beberapa kali rasanya semakin menekan ke bawah, membuat aku sulit jalan dan beberapa aktifitas lainnya. Memang bulan lalu dikatakan bahwa posisinya tidak terlalu sejajar dengan jalan lahir, dan bulan ini posisinya berubah sangat sedikit. Air ketuban sudah berkurang, pengapuran sudah derajat 3, dan air ketuban sudah agak keruh.
Aku sudah mengingatkan bahwa nanti setelah diperiksa ternyata harus dilahirkan, aku minta suamiku yang bilang bahwa rencana kita mau menunggu sampai lahir dengan sendirinya. Tetapi, ternyata malam itu jadi malam terakhir aku mengandung. Karena 3 keadaan itu, bayiku harus segera dilahirkan karena hasil CTG yang pergerakkannya tidak terlalu aktif. "Harus segera dilahirkan, takut keadaan bayinya kenapa-kenapa" katanya dokter.
Aku mau mundur rasanya, mau pulang saja menunggu di rumah. Tetapi, aku juga mau bertemu dengan bayiku. Jadi, aku minta untuk induksi, berharap aku masih bisa melahirkan secara normal (pervaginaan). Diinduksi 2 kali ternyata tidak membawa perubahan; pembukaan masih stuck di 1 dan ternyata keputusan harus segera diambil.
Tau hal yang paling menyedihkan? Aku jadi saksi dua persalinan normal saat aku menunggu waktu saat diinduksi. Aku penghuni pertama di ruangan bersalin itu, disusul pasien kedua di sebelah kiriku yang datang sudah pembukaan aktif, dan kemudian pasien ke tiga di sebelah kananku yang datang saat kepala bayinya sudah terlihat. Aku menangis haru dan juga kecewa, aku tidak bisa melahirkan secara normal.
Aku terus menangis, aku ingin sekali menolak untuk melahirkan sesar; aku takut sekali. Aku tak berhenti bertanya pada suami, bingung harus apa dan bingung harus bagaimana. Untuk pertama kalinya diinfus, pakai selang oksigen, suntik alergi, induksi, dan nanti perutku akan dibelah. Pikiranki ramai sekali, rasanya tidak bisa dijelaskan; kalut sekali. Aku mulai melemparkan lagi pertanyaan pada suamiku, berharap aku bisa kuat dengan pilihan untuk operasi nantinya.
Dan, ya, kata-kata suamiku kemudian bisa aku terima secara perlahan; keputusannya jadi keputusan final. Aku sampai malu ketika salah satu perawat memergoki aku menangis-nangis menolak untuk sesar. Induksi pertama tengah malam; induksi kedua pagi; dan siang jadwal operasiku. Rasanya masih berat, tapi aku berusaha menerimanya dan tidak berhenti berdoa pada Allah meminta perlindungan-Nya.
Namaku dipanggil; masuk ruang steril untuk ganti baju dan cukur; dan kemudian, tiba-tiba aku didorong ke ruang tindakan. Ruangan dingin yang sunyi senyap. Aku dibantu duduk lalu meringkuk untuk suntik anestesi. Aku begitu gugup sampai percobaan pertama gagal, dan akhirnya setelah percobaan kedua, aku langsung direbahkan dan kaki ku mulai mati rasa. Semua yang berdiri mulai bersiap-siap dan berdoa sebelum mulai.
Aku bisa membayangkan semuanya terjadi pada perutku. Sampai di titik sesuatu membuat tubuhku bergoyang, sepertinya mereka sedang berusaha mengeluarkan bayiku yang ternyata cukup besar. Rasanya mual, rasanya tertekan, rasanya "terasa". Suara tangis itu terdengar, aku haru saat diperlihatkan bayi yang menangis itu. Aku langsung ditenangkan oleh dokter anestesi karena takut akan membuatku makin kesulitan bernapas.
Aku pun keluar dari ruang operasi, dibiarkan sendiri di ruang steril dengan mengiggil yang tidak tertahankan. Aku berkali-kali mencoba tenang, rasanya tubuhku bergetar sendiri tanpa aku mencobanya. Dokter anak lewat memberi kesan pertama pada anakku dan kemudian aku diantar ke ruangan rawatku.
Kakiku masih mati rasa, tetapi sudah ada anakku; rasanya worth it sekali. Rasanya aku bisa menahan rasa sakit apa pun, dan memang begitu aku merasa siap menahan rasa sakit setelah melahirkan bahkan setelah obat biusnya hilang. Beberapa orang sampai ngeri karena aku bersikap biasa saja; alhamdulilah rasanya Allah berikan kekuatan lebih padaku.
Sepanjang rawat inap aku mulai bisa menerima tindakan operasi itu, namun aku jadi malu karena sudah salah sangka pada Allah. Sepanjang bulan aku memohon ampun dan maaf tiada terkira; rasanya, memang usaha tidak mengkhianati hasil tetapi usaha membantu aku untuk makin bugar setelah melahirkan. Maha Suci Allah dengan segala kebesaran-Nya
0 Komentar